Idul Fitri tiba kembali, berulang kembali setiap tanggal 1 Syawal. Kedatangannya menandai berakhirnya puasa Ramadhan dan tibanya suatu hari yang disebut-sebut sebagai “Hari Kemenangan”. Gema takbir yang berhamburan dan didengungkan di setiap mesjid, setiap pelosok desa maupun kota bukanlah satu pemandangan luar biasa di malam 1 Syawal. Hal tersebut telah menjadi satu kebiasaan dan budaya yang sering disebut sebagai “Malam Takbiran”. Dilanjutkan pada pagi harinya dengan budaya silaturahmi dan saling memaafkan antar sanak saudara dan kerabat lainnya. Membayar zakat fitrah dan fidyah, melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman (biasa disebut Mudik), mengecat rumah dengan cat yang baru dan banyak aktivitas lain sudah menjadi satu kebudayaan tersendiri bagi umat muslim, khususnya di Indonesia. Semua bagian yang disebutkan diatas hanyalah segelumit kecil fenomena yang sering terjadi dalam rangka menyambut datangnya 1 Syawal. Masih banyak kegiatan dan aktivitas-aktivitas lain yang mewarnai datangnya 1 Syawal.
Lantas, tidakkah kita pernah terfikir untuk mencari tahu makna penting apa sebenarnya yang mengiringi kedatangan 1 Syawal? Pernahkah terbersit di benak kita bahwa Idul Fitri bukanlah sekedar menggaung-gaungkan gema takbir tanpa tahu makna dibalik takbir itu sendiri? Bagi seorang anak kecil, “dapat memiliki baju baru” mungkin menjadi makna Idul Fitri yang tertanam dalam benak mereka. Bagi sebagian orang orang dewasa lainnya, Idul Fitri dimaknai sebagai “Hari Kemenangan”, Kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci‘ sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara bahasa, “kelahiran kembali’ ini mereka artikan bahwa seorang muslim selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, sholat malam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan. Adapula sebagian orang dewasa lainnya yang bahkan mengartikan Idul Fitri sebagai bentuk kebebasan, perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum‘ sehingga yang tadinya dilarang makan di siang hari, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam, kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan kemudian, karena Ramadhan sudah usai maka keniaksiatan akan kembali dibebaskan. Sungguh satu kesalahan fatal dalam memaknai berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya bulan Syawal.
Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti mencipta. Sejumlah ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud fitrah dalam ayat tersebut adalah fithrah keagamaan, bukan fitrah dalam arti umum, yaitu keyakinan tentang keesaan Tuhan dan kecenderungan untuk menerima kebenaran Ilahiyah. Selain melihat konteks-nya, sejumlah ulama menguatkan pendapatnya itu dengan merujuk kepada sabda Rasulullah :
“Setiap anak yang lahir dilahirkan atas dasar fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya (menganut agama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Kelahiran seorang manusia, dalam kaca mata Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya. Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri.
Namun, disamping hal itu semua, ada makna sederhana tapi sangat mendalam yang ingin dicapai dari datangnya 1 Syawal itu sendiri setelah mengakhiri shaum di bulan Ramadhan. Merujuk kepada ayat Allah pada Surah Al- Baqarah: 183
“Hai orang-orang beriman,diwajibkan atas kamu berpuasa (shaum) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa”.
Tampak dengan jelas bahwa “hal” yang dituju setelah berakhirnya“shaum”, yang berarti juga adalah “hal” yang mengawali datangnya 1 Syawal adalah “agar kamu menjadi orang yang bertaqwa”. Lihat juga pada ayat Allah pada Surah Al-Maidah : 133-135
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan, dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimki diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya…..”.
Jadi, terlihat jelas bahwa dengan berakhirnya shaum pada bulan Ramadhan maka diharapkanlah tumbuhnya seorang muslim yang bermurah hati, ikhlas bersedekah dan memberi kepada orang lain yang membutuhkan tidak hanya disaat lapang (memiliki “sesuatu” secara berlebih), tetapi juga senantiasa bersedekah disaat ia sedang berkecukupan atau bahkan kurang sekalipun.
Makna penting yang juga terkandung di Idul Fitri adalah bahwa seorang muslim yang seyogyanya mampu menahan amarah selama berpuasa sebulan penuh, tentunya jangan hanya terhenti dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Menahan amarah adalah poin penting yang disampaikan Allah SWT pada ayat diatas untuk meraih predikat taqwa, senantiasa memaafkan kesalahan orang lain serta berbuat baik dimanapun kita berada.
Poin terakhir yang disampaikan Allah SWT untuk menjadi makna Idul Fitri itu sendiri adalah refleksi untuk evaluasi diri agar kita dalam kehidupan sehari-hari tidak mengulang dosa dan kesalahan yang sama.
“Kembali kepada kesucian” setelah berpuasa selama sebulan yang berarti seorang muslim kiranya mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraihnya. Tidak kehilangan semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, karena predikat taqwa seharusnya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT: “Hai orang yang beriman, bertagwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kati kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam ” (QS. Ali Imran: 102).
Akhir kata, semoga Idul Fitri ini benar-benar menjadikan kita sebagai umat terbaik yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kepada keburukan serta beriman kepada Allah SWT seperti yang disebutkan pada firmanNya:
by : (Yose Inaita Sembiring)
No Response to "MEMAKNAI IDUL FITRI SEBAGAI BENTUK REFLEKSI DIRI UNTUK MERAIH PREDIKAT “TAQWA”"
Posting Komentar